Ring Lawan Bola Basket

Setelah ujian tengah semester selesai, semua siswa melaksanakan kegiatan yang sangat ditunggu-tunggu oleh mereka, Class Meeting.

“Yeeeeesss!!” teriak satu tim basket

Priiiiiit suara wasit meniup peluit di lapangan basket sekolah.

Sorak sorai terdengar dari sudut-sudut lapangan meneriakkan jagoannya masing-masing. Tatapan penonton tertuju pada bola basket yang sedang memantul kesana-kemari dengan penggiring yang bergantian. Dari sudut lapangan tampak seorang perempuan berambut panjang yang diikat sedang menguasai bola basket digiringnya ke arah ring lawan.

“Riri, semangaaaaat!” Ucap Ninda, salah satu anak kelas XI IPA 1 yang seharusnya ia mendukung tim kelasnya yang sedang bertanding dengan tim sahabatnya.

“Eh, kok elu dukung anak XI IPS 3 sih Nin?” Tanya salah satu teman sekelasnya

“Ups, sorry...” Jawab Ninda sambil menutup mulut dengan tangannya, seolah tak sengaja mengucap.

Teriakan penonton semakin kencang mengiringi pantulan bola yang sedang digiring oleh perempuan manis tersebut, namun hadangan terus terjadi. Bola pun berhasil masuk ke ring.




Priiiiit suara wasit meniupkan peluit kembali.

“Medis ! Riri luka tolong” ucap wasit sambil melambaikan tangan.

4 orang laki-laki lari membawa tenda untuk mengangkatnya ke tepi lapangan. Terpaksa pertandingan dijeda untuk sementara waktu.

***

“Aku enggak kenapa-napa ko Fan” ucap Riri kepada seorang laki-laki yang sedang mengobati lukanya.

“Iya Ri, tapi hati-hati bisalah Ri. Kamu perempuan loh, masa banyak plesteran dimana-mana kayak gini”

Riri menghela napas.

“Terus kalau aku banyak plesteran, kamu udah nggak suka lagi sama aku?” tanya Riri. Sambil menatap Riri, Ifan hanya tertawa kecil sambil mengacak-acak rambut Riri.

“Fan, kamu dukung aku atau tim dari kelasmu?” tanya Riri iseng, seolah meminta penegasan bahwa Ifan mendukung tim basketnya dari pada tim basket kelas Ifan yang kini menjadi lawan main Riri.

“Kamu tau sendiri jawabannya” jawab Ifan sambil membereskan perlengkapan P3K.

“Boleh nggak kalian pacarannya nanti dulu? Pertandingan penting ini! Yuk buru balik lapangan Ri” ucap salah satu tim basket Riri

Riri pun bergegas pergi menuju lapangan untuk melanjutkan pertandingan.

***

“Fan, baa si Riri? Lai aman?” Tanya Ninda dengan bahasa Minang.

Riri dan Ifan adalah sepasang kekasih yang memiliki banyak keberagaman. Riri berasal dari Jakarta yang kemudian melanjutkan SMA di Kota Padang karena ikut ayahnya pindah tugas. Sejak awal tinggal di Padang, Ninda lah yang menemani Riri. Kebetulan Ninda adalah tetangga satu komplek Riri dan juga sekelas dengan Ifan. Riri sangat jago bermain bola basket. Sedangkan Ifan, laki-laki asli daerah yang menekuni bidang medis. Cita-citanya ingin menjadi dokter. Namun tekad Ifan mengambil ekstra kulikuler PMR, tak lain untuk Riri. Agar Ifan dapat mendukung Riri selalu, terlebih saat pertandingan basket. Perbedaan mereka itulah yang melengkapi satu sama lain. Namun, mereka pun tidak lepas dari perbincangan siswa-siswi lainnya yang tak setuju dengan hubungan mereka. Tak hanya sekedar perbedaan hobi yang diperbincangkan, mereka pun meledek Ifan yang hanya setinggi telinga Riri. Riri yang memiliki badan tinggi dan rambut panjang itu menjadi idaman para laki-laki atlit basket. Begitu pula dengan Ifan, ketua PMR yang menjadi idaman bagi perempuan bahkan adek kelasnya banyak yang menaksirnya.

“Nin, tolong letakan tas awak ke kelas yo! Awak mau bersihin UKS dulu”

“Jadih Fan!”

***

Festival budaya adalah puncak dari acara class meeting di sekolah yang berlangsung pukul 7 malam. Riri sangat senang dengan acara ini, karena ia dapat belajar banyak hal terkait budaya Minang yang sebelumnya belum ia dapatkan. Siswa-siswi yang hadir menggunakan baju-baju adat Minang. Bertemakan budaya dengan banyak lomba antara lain membaca puisi, menari, menyanyi, ada juga pasar tradisional dengan jajanan khas Minang dari ekstrakurikuler Kewirausahaan. Selain itu, pada malam ini juga pengumuman pemenang dan pemberian hadiah class meeting.

Seperti biasa Ifan dan anak PMR lainnya bersiap dengan peralatan kesehatannya. Ada yang menjaga UKS, ada juga yang menjaga di belakang panggung. Mereka bersiap jika nanti ada hal-hal yang membutuhkan pertolongan pertama dari mereka. Berhubung Ifan sedang sibuk, Riri hanya ditemani oleh sahabatnya Ninda yang menjadi tour guide Riri menjelaskan kearifan lokal budaya Minagkabau.

“Nanti kalau pulang tunggu aku depan pos satpam ya Ri. Sekarang aku mau keliling dulu.”, pinta Ifan ke Riri

“Kita mau balik jam berapa nanti?”

“Di rundown acara jam 10 malam sudah harus selesai semua dan jam setengah 11 pintu gerbang sudah ditutup. Jadi tunggu aku jam 10 di depan pos satpam ya”

“Oh ok Fan.” jawab Riri

***

“Wah pantesan tim basket cewek kelas kita kalah, ternyata ada yang lagi nggak fokus main basket gegara di selingkuhin ketua PMR itu?” ledekan salah satu teman sekelas Riri seolah bertanya ke anak-anak yang sedang duduk di depan kelas, menyindir.

Riri yang sedang melintas di depan mereka, sejenak berhenti. Ia terheran mendengar nyinyiran teman sekelasnya tersebut, namun ia mencoba untuk mengacuhkan. Mereka sedang hangat membicarakan kedekatan Ifan dengan Lian.

“Ri, yakin nih masih mau sama Ifan? Sama aku aja!” tanya Edo yang tiba-tiba duduk di meja Riri.

“Yuk Ri!” Ninda menghampiri Riri.

Duuuaaarrr…..Edo menggerebak meja.

Sambil menjadi tour guide Riri, Ninda pun mendengarkan curhatan Riri kepadanya yang kerap diperbincangkan seolah hubungan Riri dengan Ifan tak balance. Terlebih soal Edo, yang semakin menjadi-jadi untuk merusak hubungannya dengan Ifan. Ninda memberi masukan untuk tidak mendengarkan omongan negatif orang lain yang tak mengerti apa yang kita jalani.

Waktu telah menunjukkan pukul 10 malam, Ninda meminta izin Riri untuk pulang terlebih dahulu karena telah dijemput orang tuanya. Seketika orang tua Riri meneleponnya menawari jemputan pulang, namun Riri menolak dan ia berkata pada ayahnya bahwa tadi Ifan berjanji akan mengantarkannya pulang.

“Ya Yah, sudah dulu ya. Riri telpon Ifan dulu kalau Riri dah nungguin di pos satpam”

Ifan tidak dapat dihubungi. Berkali-kali Riri mencoba meneleponnya, hingga banyak tawaran teman-teman untuk mengantarkannnya pulang pun ia tolak termasuk Edo. Suasana sekolah sudah mulai sepi. Satu persatu mulai meninggalkan tempat tersebut, namun Ifan belum juga dapat dihubungi.

“Ni, nunggu sia ni? Hari sudah malam ni, bapak ka manutuik pintu gerbang”

“Pak, ada lihat Ifan nggak pak?” Riri mulai gelisah

“Indak uni.” jawab penjaga sekolah

Riri mulai lelah dan kesal karena Ifan tak kunjung datang. Ia meminta ayahnya untuk menjemputnya pulang.

***

Keesokan harinya, beredar foto grup WA bahwa Ifan dan Lian tidur di ruang UKS berdua. Riri kaget mendengar berita tersebut dan bergegas menuju UKS untuk memastikan.

“Ifan!!!”

“Riri…”

Riri pergi menuju kelasnya. Ifan tak dapat mengejarnya karena saat itu juga harus ke ruang BK untuk diinterogasi.

Lian merupakan teman Edo yang mengidolakan Ifan. Edo meminta Lian untuk pura-pura tidur di samping Ifan saat acara festival budaya. Ifan memang tertidur di ruangan UKS karena kelelahan menyiapkan acara. Foto tersebut disebarluaskan di story intagram dan grup WA. Nama Ifan sudah tercoreng dari seluruh penghuni sekolah.

***

“Ri, aku yang ceroboh!”

Riri terdiam. Dia masih menenangkan dirinya untuk menerima kecerobohan Ifan dan mencoba memaafkannya. Ia menghela napsnya kemudian berkata,

“Fan kalau seorang dokter ceroboh, bagaimana dengan pasiennya?”

Pertanyaan itu yang membuat Ifan introspeksi dan berpikir lebih tentang apa yang harus ia lakukan jika ia ingin menjadi seorang dokter. Seperti yang pernah Riri katakan ke Ifan bahwa cinta dan cita-cita itu sama seperti menggiring bola basket ke dalam ring lawan. Halangan akan selalu ada, bahkan sampai terjatuh itu pun hal yang wajar. Cinta dan cita cita dapat diraih bersamaan dan juga dapat dimusnahkan bersamaan. Sebagai seorang kekasih, selalu mendukung cita-cita yang akan diraih oleh pasangannya.

ditulis oleh : Ayu Dina Rosida - No Anggota KMCO: 040/KMCO49/09/2020

Komentar

Postingan Populer